Sabtu, 08 November 2008

NAMA : Dedi mardiansyah
NIM : 06313551
TUGAS : konservasi

konservasi


Saat ini, banyaknya kekhawatiran yang timbul terhadap hilangnya hutan tropis berasal dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan sebagai gudang keanekaragaman hayati. Akan tetapi pengetahuan tentang keadaan/status dan luasan keanekaragaman hayati yang hilang akibat gangguan hutan masih sangat terbatas.

Penelitian CIFOR di bidang tersebut mencakup kajian diantaranya yaitu, penentuan dampak akibat adanya gangguan seperti kegiatan pembalakan, pemanenan hasil hutan non-kayu dan fragmentasi hutan di dalam kawan konservasi keanekaragaman hayati "in situ". Kegiatan ini bertujuan agar data yang diperoleh dari lokasi studi yang terwakili secara ecoregional dapat digeneralisasikan sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan dan menguji model proses dan spasial.

Dalam sebuah proyek berskala luas, peneliti dari India, Thailand dan Indonesia melakukan kegiatan penelitian dengan bantuan CIFOR dan International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) yang bertujuan untuk menyelidiki pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya genetik hutan. Kegiatan yang mencakup berbagai bidang ilmu ini terdiri dari kajian terhadap komponen sumberdaya genetik, ekologi reproduksi jenis yang diteliti dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar lokasi hutan penelitian.

Di Malayasia, contohnya, meskipun berdasarkan temuan dinyatakan bahwa pembalakan terbukti berpengaruh pada semua jenis yang diteliti, tetapi hilangnya keanekaragaman hayati genetik tidak lebih dari 24 persen. Demikian pula hasil kajian dampak pemanenan kayu untuk keperluan papan dan bahan bakar di Thailand yang menunjukkan perbedaan nyata hanya jika pemanenan dilakukan dengan intensitas yang sangat tinggi. Sementara itu hasil penelitian yang dilakukan di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa setelah pembalakan terjadi peningkatan yang nyata terhadap inbreeding jenis-jenis yang diteliti -hasil selanjutnya akan diselidiki lebih jauh pada jenis-jenis Dipterocarpaceae.

Pada tahun 1998, dengan masuknya seorang pakar dari Danish International Development Agency yaitu Dr. John Poulsen, CIFOR meluncurkan suatu gagasan baru dengan proyek yang dilaksanakan di Western Ghats, India. Penelitian yang memerlukan wawancara ekstensif terhadap masyarakat suku setempat dan non-suku ini, berupaya mengevaluasi dampak skala-bentang alam pemanenan hasil hutan non-kayu baik berupa flora dan fauna, termasuk burung, kupu-kupu, mamalia kecil, pohon dan tumbuhan bukan pohon.

Kegiatan lainnya yang merupakan bagian dari proyek tersebut di India menyebutkan bahwa keluarga miskin sangat tergantung pada kegiatan pengumpulan hasil hutan non-kayu. Dengan banyaknya hasil hutan non-kayu yang masuk ke pasar maka pemanenan cenderung dilakukan tanpa menghiraukan aspek kelestarian, demikian pula yang terjadi ditengah masyarakat asli yang secara tradisional penghidupannya tergantung dari produk tersebut. Akibatnya, permudaan beberapa jenis tumbuhan penting hampir tidak nampak di beberapa kawasan, sehingga hal ini mengancam menurunnya keanekaragaman genetik jenis-jenis yang bersangkutan.

Di Kalimantan Tengah, para peneliti CIFOR juga melakukan kajian tentang dampak kegiatan pembalakan terhadap keanekaragaman struktur vegetasi, burung, dan mamalia kecil (tikus). Hasil sementara kajian yang membandingkan kondisi burung di lokasi bekas tebangan dan yang tidak ditebang menunjukkan bahwa pembalakan dengan sistem tebang pilih berdampak kurang nyata pada keanekaragaman dan jumlah jenisnya. Hal ini dipengaruhi diantara oleh rendahnya intensitas pembalakan. Dilain pihak kegiatan pembalakan dan faktor bentang alam (posisi topografi dan tingkat kebasahan) berpengaruh negatif terhadap pola struktur komunitas, komposisi jenis serta kelimpahan relatifnya.

Sementara itu data dasar keanekaragaman hayati yang diperoleh dari survey terpadu di Indonesia, Thailand dan daerah cekungan (basin) Western Amazon dan Kamerun memberikan suatu gambaran lebih jauh tentang reaksi penjerapan karbon dan keanekaragaman hayati yang terjadi pada berbagai tingkat intentitas pemanfaatan lahan. Hal baru lainnya adalah ditemukannya suatu indikator umum dari pola reaksi tersebut diatas yang dapat diketahui dengan menggunakan Plant Functional Types (PFTs), yang dapat menggambarkan adaptasi tumbuhan terhadap perubahan fisik lingkungan. Kajian berbagai disiplin ilmu terkait yang dilakukan di dataran rendah Sumatra, Indonesia, berhasil membuktikan adanya hubungan yang sangat potensial dan bermanfaat antara struktur vegetasi, kelompok kunci jenis flora dan fauna, PTFs dan ketersediaan unsur hara tanah.

Terakhir, di Afrika, peneliti CIFOR bersama dengan mitra kerjanya mempelajari dampak fragmentasi terhadap keanekaragaman genetik. Kajian ini dilakukan di sebuah kawasan yang terdiri dari 22 fragment riverine sebuah bentang alam yang dibuka untuk areal utama peternakan. Penelitian ini dirancang untuk menentukan apakah fragmentasi ini berdampak merugikan bagi mekanisme kerja serangga penyerbuk serta akibat-akibat yang mungkin timbul terhadap keanekaragaman genetik empat jenis pohon penting.

Kamis, 30 Oktober 2008

pemanasan global

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

  • Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
  • Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
  • Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
  • Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
  • Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.

Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.

Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.

Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :

  • globalisasi ekonomi dan implikasinya,
  • otonomi daerah dan implikasinya,
  • penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
  • pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
  • pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
  • daur ulang hidrologi,
  • penanganan land subsidence,
  • pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
  • pemanasan global dan berbagai dampaknya.

Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua

Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).

Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).

Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :

  • sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
  • beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
  • Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
  • Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.

Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.

Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :

  • Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
  • Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
  • Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.

Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.

Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.

Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.

Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :

  • Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
  • Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
  • Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
  • Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
  • Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
  • Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
  • Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
  • Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
  • Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.

Berbagai sumber.

Senin, 27 Oktober 2008

penambangan emas semakin marak di kalimantan barat

Pontianak, Kompas - Para bupati di Kalimantan Barat diminta segera mengendalikan maraknya kegiatan penambangan emas liar di daerah mereka masing-masing. Para bupati harus menyiapkan peraturan daerah dan prosedur perizinan pertambangan rakyat untuk mengendalikan kerusakan lingkungan akibat maraknya penambangan liar di wilayahnya.

Wakil Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) LH Kadir di Pontianak, Sabtu (22/5), mengatakan, sudah saatnya para bupati di Kalbar peduli terhadap maraknya penambangan emas tanpa izin (peti). Salah satu caranya dengan menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang penambangan emas rakyat berikut prosedur serta sanksi bagi pelanggarnya. "Jangan dibiarkan tak terkendali sehingga kerusakan lingkungan semakin parah," katanya setelah melihat maraknya penambangan emas di Sungai Kapuas, tepatnya di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu.

Di Kabupaten Sintang saja saat ini terdapat lebih dari 400 penambang emas yang menambang di Sungai Kapuas. "Padahal, Sungai Kapuas merupakan sumber air utama bagi masyarakat Kalbar. Kalau kerusakan sungai ini terus dibiarkan, kelak masyarakat Kalbar akan kesulitan mendapatkan air bersih," katanya.

Berdasarkan pemantauan Kompas, kerusakan lingkungan akibat penambangan emas tanpa izin juga terjadi di Kabupaten Landak. Bahkan para penambang emas kini sudah merambah Cagar Alam Mandor seluas 10.000 hektar yang di dalamnya terdapat Taman Makam Pejuang Mandor, tempat dimakamkannya 21.031 korban akibat kekejaman Jepang.

Tidak kurang dari 100 mesin dumping atau "mesin jak" yang berfungsi untuk menambang emas dioperasikan di daerah ini. Setiap mesin dioperasikan untuk areal seluas 5-10 meter persegi dan kedalamannya sekitar 10 meter.

Camat Mandor Alexsius Asnanda ketika ditemui di Ngabang (ibu kota Kabupaten Landak) mengakui maraknya penambangan emas di wilayahnya. Sejak diangkat sebagai Camat Mandor akhir tahun 2003, menurut Asnanda, dia sudah berkali-kali meminta agar mereka tidak menambang emas, terutama di kawasan Taman Makam Pejuang Mandor. Namun, imbauan tersebut tidak pernah diindahkan.

Bupati Landak Cornelis juga mengakui, pihaknya sudah tidak mampu mengatasi masalah ini, sementara masyarakat juga tidak peduli lagi dengan kerusakan lingkungan akibat penambangan emas tanpa izin. Permohonan bantuan agar Pemerintah Provinsi Kalbar dan pemerintah pusat turun tangan membantu menertibkan penambangan tanpa izin juga tak pernah diperhatikan

Minggu, 26 Oktober 2008

merkuri,bom waktu di bumi kapuas




Emas tetaplah emas. Di manapun berada, dia diburu dengan segala cara. Tengoklah ke sepanjang Sungai Kapuas. Orang-orang menggantungkan hidup dengan menjadi penambang emas terapung di atas arus sungai yang deras. Dari hulu hingga ke hilir.

Rata-rata setiap kelompok dalam satu lanting atau rakit penambang di Sungai Kapuas ini bisa memperoleh 4-8 gram emas setiap hari. Harga segram emas di kalangan penambang saat ini berkisar antara Rp 140 hingga 176 ribu. Alhasil, setiap kelompok penambang bisa beroleh pendapatan kotor lebih dari RP 1 juta per hari. Jumlah yang sangat besar dibanding kerja apapun di Bumi Khatulistiwa ini.

Dari penelusuran, saat ini setidaknya ada 2.000 mesin diesel di sepanjang Sungai Kapuas dan anak-anakannya. Jumlah pekerja diperkirakan mencapai lebih dari 10 ribu orang yang terbagi dalam 1.400an kelompok penambang. Ironisnya, mayoritas penambang itu tak berizin alias penambang liar.

Para penambang itu umumnya berpindah-pindah. Psalnya, cadangan emas Kapuas diduga menipis setelah dikeruk massal pascakrisis moneter 1997. Tak hanya di atas Sungai Kapuas, para pemburu emas juga merambah ke daratan. Menggerus setiap bukit dan pegunungan di Kalimantan.

Tim Sigi yang menelusuri, bahkan sudah masuk ke sejumlah cagar alam dan taman nasional yang dilindungi. Jejak mereka membekas di Cagar Alam Mandor. Tim Sigi menemukan lebih dari 30 mesin penambang masih menderu di hutan lindung ini. Menyedot setiap butir emas di setiap jengkal tanah Mandor.

Meski ilegal, aksi para penambang ini bisa tetap berlangsung bertahun-tahun. Para penambang mengaku sudah membayar uang keamanan kepada aparat yang setiap bulan datang mengunjungi kamp-kamp penambangan. Pemerintah Daerah setempat seperti tak berdaya. Yang bisa dilakukan hanya sebatas mendata keberadaan para penambang.

Data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Barat menyebut produksi emas para penambang diperkirakan mencapai 8 kilogram lebih per hari. Ini artinya, produksi emas per tahun para penambang emas tak berizin ini mencapai hampir tiga ton. Jika harga satu gram emas Rp 170 ribu maka peredaran uang para penambang di Kalbar mencapai Rp 500 miliar lebih per tahun.

Kabar tak sedapnya, pencemaran berat terjadi di mana-mana. Pasalnya, para penambang menggunakan merkuri untuk memproses emas. Untuk satu gram emas, setidaknya dibutuhkan 1 hingga 2 gram merkuri atau air raksa. Jadi konsumsi logam beracun merkuri para penambang di Kalbar mencapai 5 hingga 6 ton per tahun.

Para penambang emas di Kalbar memang terbiasa menggunakan air raksa atau merkuri untuk memisahkan emas dari pasir dan tanah. Sudah turun-temurun. Bahkan menurut sejarah, penggunaan merkuri sudah dilakukan sejak sebelum jaman kemerdekaan. Namun, puncaknya terjadi pascakrisis moneter dimana hampir 20 ribu orang beralih profesi menjadi penambang emas.

Di tangan penambang, merkuri dipegang layaknya bukan barang berbahaya. Padahal uapnya bisa terhirup atau masuk ke tubuh lewat pori-pori kulit. Soal bahaya dan resikonya terhadap kesehatan tubuh apalagi soal dampaknya bagi lingkungan nyaris tak pernah digubris. "Dampak merkuri baru tampak 15-20 tahun ke depan," ujar Tri Budiarto, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Kalimantan Barat.

Para penambang sepertinya juga tak mendapatkan bahan kimia alternatif selain merkuri. Zat ini satu-satunya bahan kimia yang mudah diperoleh di pasaran. Sejumlah penambang mengaku biasa membeli merkuri di toko-toko emas atau toko-toko penjual mesin diesel penyedot pasir atau mesin dompeng yang ada di kota-kota di sepanjang daerah aliran Sungai Kapuas.

Merujuk Data Dinas Pertambangan dan Energi setempat, jika produksi emas Kalbar setiap tahun mencapai hampir 3 ton dan pemrosesan satu gram emas diperlukan dua gram merkuri maka konsumsi merkuri para penambang di Kalbar mencapai 5-6 ton per tahun. Celakanya, setiap gram merkuri yang diperdagangkan di antara 100 persen ilegal alias merkuri selundupan.

PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, satu-satunya perusahaan yang mendapat izin mengimpor merkuri ke Indonesia belum pernah sekalipun memasok merkuri ke Kalbar. Riset Sigi menyebut, dua per tiga merkuri dunia diproduksi Cina dan sisanya Kirgiztan. Kebanyakan dipakai untuk industri lampu neon, alat pengukur tekanan darah, dan termometer. Karena masuk dalam kategori bahan beracun dan berbahaya (B3), pemerintah menunjuk PT PPI sebagai importir khusus.

Pertanyaan besarnya, dari mana merkuri-merkuri selundupan itu bisa masuk ke wilayah Kalbar? Polisi punya fakta lebih nyata. Merkuri yang beredar di Kalbar ternyata dipasok sindikat internasional. Satu sindikat perdagangan gelap merkuri yang belum lama ini terbongkar adalah jaringan Ng Nam Hwat alias Amat yang berkoneksi dengan pemasok merkuri ilegal dari Jakarta.

Amat mengaku membeli merkuri dalam ukuran tabung-tabung seberat 34 kilogram dari Jakarta seharga Rp 15 juta per tabung. Di Pontianak, dia menjual merkuri-merkuri itu secara botolan seharga Rp 490 ribu per botol.

Jaringan kedua adalah jaringan Asun bin Cu Fa Tong. Asun inilah yang diyakini polisi menjadi salah satu pemasok merkuri ke daerah-daerah operasi para penambang liar di Mandor, Monterado, Singkawang, Sintang, Ketapang, dan Sekadau.

Kini, para pedagang merkuri memilih bertransaksi dengan cara sembunyi-sembunyi. Mereka hanya menjual kepada orang yang sudah dikenal atau menggunakan jasa kurir seperti yang terjadi di Pasar Durian, Sintang. Kepada Tim Sigi, seorang kurir mengaku bisa melayani 10 penambang setiap pekan. Para kurir biasa membeli merkuri di toko-toko mesin penyedot tambang atau toko-toko emas yang ada di Sintang setiap Jumat dengan harga Rp 80-90 ribu per ons.

Kerusakan yang ditimbulkan bukan main. Lihatlah wajah Cagar Alam Mandor yang terletak di Kabupaten Landak, Kalbar. Sepanjang 12 kilometer hanya terbentang gundukan pasir gersang dan patahan batang-batang pohon. Panas dan tak menyisakan kehidupan. Merkuri dan penambangan emas melumatkan sejumlah hutan dan cagar alam Mandor.

Tetes demi tetes merkuri juga jatuh dan mencemari Sungai Kapuas sepanjang seribu kilometer lebih berikut anak-anakan sungainya. Maklum, para penambang memburu emas hingga ke dasar sungai. Mereka mencampurkan merkuri ke sungai begitu saja. Padahal, Sungai Kapuas sebagai sungai terpanjang di Indonesia menjadi andalan masyarakat mulai dari transportasi, sumber aneka jenis ikan, mencuci, mandi, hingga menjadi pasokan baku perusahaan air minum daerah.

Bapedalda Kalbar menyimpulkan kualitas Sungai Kapuas sudah tercemar berat oleh racun merkuri buangan penambangan emas. Sepanjang tahun ini, Bapedalda memantau 13 titik dan menyebut tak satupun wilayah yang diuji memiliki kadar merkuri di bawah ambang batas normal sebesar 1 ppb. Di beberapa titik seperti hilir Sungai Landak, Siantan Hulu, muara Kapuas di Jungkat, dan muara Sungai Sudarso, kadar merikuriumnya bahkan menembus angka 40 ppb atau 40 kali batas normal.

Celakanya, outlet PDAM Pontianak di Jalan Imam Bonjol pun tercemar merkuri sebesar 3,64 ppb atau tiga kali dari batas yang dipersyaratkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Padahal pelanggan PDAM Pontianak saat ini sudah mencapai 63 ribu.

Selain air minum, penelitian bersama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura, PPSDAK, BRSIP, dan Walhi beberapa tahun lalu menyebut penggunaan merkuri para penambang emas telah berdampak serius pada ikan dan manusia terutama yang berada di lokasi penambangan. Kandungan merkuri pada ikan-ikan di perairan Kapuas seperti ikan toman, lais, gabus, dan baung sudah terkontaminasi racun merkuri dengan konsentrat tinggi. Demikian pula dengan rambut dan kuku para penambang dan masyarakat di sekitarnya.

Meski dampak kerusakan dan pencemaran yang terjadi demikian dahsyat, namun kegiatan penambangan emas yang melibatkan ribuan warga ini tak mendatangkan pemasukan apapun ke kas pemerintah provinsi maupun kabupaten. Yang kaya hanyalah cukong-cukong pemilik tambang dan para pedagang merkuri dan emas di Kalbar dan sekitarnya.

Aparat keamanan dan pemerintah daerah mestinya mengambil cara yang lebih ampuh dan tegas untuk mengendalikan distribusi dan penggunaan merkuri. Dengan menyetop pasokan merkuril, Bumi Kapuas bisa diselamatkan dari kerusakan alam dan pencemaran logam berat berbahaya ini. Peraturan Daerah yang kini tengah digodok harus menyertakan sanksi berat terhadap setiap pengedar gelap merkuri.

Masyarakat Kalbar terutama para penambang emas semestinya juga bisa belajar dari berbagai tragedi akibat penggunaan merkuri secara serampangan di berbagai negara di dunia seperti Jepang, Irak, Pakistan, dan Guatemala. Banyak korban berjatuhan dan ribuan bayi lahir cacat karenanya. Tentu saja, kita tak berharap tragedi itu berulang di Bumi Kapuas

banjir di kalbar akibat kerusakan hutan

Pontianak, Kompas - Pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota di Kalimantan Barat (Kalbar) diperkirakan bakal kewalahan menghadapi berbagai persoalan yang timbul setelah bencana banjir yang melanda berbagai daerah pekan-pekan terakhir ini. Sebab, berbagai penyakit akan muncul, ribuan warga kehilangan mata pencarian, dan ratusan rumah warga maupun infrastruktur dan bangunan perkantoran/sekolah rusak.

"Sekarang kita belum mengetahui berapa kerugian akibat banjir yang melanda sebagian wilayah Kalbar lebih dari sepekan terakhir. Yang jelas, pascabanjir, pemerintah daerah bakal kewalahan menghadapi berbagai persoalan yang harus ditangani untuk memulihkan daerah-daerah yang tergenang banjir," kata Wakil Gubernur Kalbar LH Kadir di Pontianak, Rabu (22/1).

Seperti diberitakan, dalam sepekan terakhir bencana banjir melanda sebagian wilayah Kalbar, seperti Kabupaten Sambas, Bengkayang, Landak, Pontianak, dan Singkawang. Sampai kemarin, genangan masih terjadi di Kabupaten Sambas dan Pontianak. Keadaan tersebut membuat ribuan warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman, sementara ribuan hektar tanaman padi terendam.

Kepala Dinas Kehutanan Kalbar Arman Mallolongan mengatakan, bencana banjir di wilayah Kalbar yang berlangsung lebih dari sepekan terakhir terjadi akibat kerusakan lingkungan, terutama makin habisnya hutan di daerah ini. Saat ini, di Kalbar terdapat tiga juta hektar lahan kritis akibat eksploitasi sumber daya hutan secara tak terkendali dalam 30 tahun terakhir.

Di sisi lain, dari sekitar enam juta hektar hutan yang masih bertahan, diperkirakan hutan produksi yang masih berupa hutan perawan (virgin forest) hanya sekitar 500.000 hektar.

Jika eksploitasi hutan di Kalbar sekarang terus dilakukan secara tak terkendali, bencana banjir besar seperti sekarang ini diperkirakan bakal menjadi langganan tetap bagi provinsi yang dihuni sekitar 3,8 juta jiwa ini setelah bencana kekeringan, kebakaran hutan dan lahan. Kondisi inilah yang membuat penderitaan masyarakat Kalbar makin bertumpuk.

"Kalbar saat ini seharusnya secara serius melakukan berbagai kegiatan rehabilitasi lingkungan, terutama mengembalikan jutaan hektar lahan-lahan kritis menjadi kawasan hutan kembali. Penebangan hutan seharusnya sudah dihentikan, atau hanya bisa dimanfaatkan secara terbatas," katanya.

Namun, yang terjadi eksploitasi hutan secara tak terkendali. Bahkan, kegiatan illegal logging makin marak di daerah ini. Keadaan ini sulit dihentikan karena banyak pihak yang terlibat. Kalau dua tahun lalu saja Dinas Provinsi Kalbar setidaknya bisa menangkap kegiatan illegal logging mencapai 10.000 meterkubik, tetapi dalam dua tahun terakhir hampir-hampir tak ada tangkapan kayu dari kegiatan illegal logging. "Kami kesulitan menangkapnya karena banyak pihak yang terlibat," katanya. (ful)

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN ANCAM KELESTARIAN SATWA


Pontianak, 29/8 (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan yang selalu berulang setiap tahun di beberapa wilayah di Indonesia, telah mengancam kelestarian satwa yang hidup di kawasan hutan dan lahan yang terbakar tersebut.

"Kebakaran hutan dan lahan menurunkan populasi binatang seperti mamalia, reptil, dan burung," kata dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat (Kalbar), Effendi Manullang, di Pontianak, Senin.

Berbicara dalam seminar "Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap Populasi Satwa di Kalimantan Barat", Manullang mengatakan, kebakaran hutan dan lahan telah menimbulkan berbagai dampak negatif, terutama yang berkaitan dengan persoalan lingkungan.

Dampak negatif akibat kebakaran hutan dan lahan, antara lain kerugian ekonomis, kerugian ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati dan estetika, menurunnya populasi satwa, perubahan iklim mikro maupun global, serta terganggunya transportasi baik darat, perairan, maupun udara.

Dampak langsung kebakaran hutan dan lahan terhadap populasi satwa, menyebabkan terjadinya perpindahan satwa ke tempat lain atau mati terbakar, sehingga populasi satwa itu menjadi berkurang, katanya.

Sementara menurut Koordinator Alliance for Kalimantan Rescue (AKAR), Yuyun Kurniawan, sebagai ancaman paling nyata bagi kelangsungan hidupan liar di Kalbar, meliputi fragmentasi kawasan, konversi lahan dan perdagangan satwa secara illegal.

"Ancaman dari kebakaran hutan sejauh ini belum menunjukkan dampak yang signifikan," katanya, Namun ia menambahkan, ancaman itu bisa saja terjadi pada beberapa daerah yang mempunyai kelimpahan jenis satwa yang cukup tinggi dan tersebar di wilayah rawan kebakaran.

Untuk kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalbar, menurut ia, dari pantauan melalui satelit NOAA terjadi pada daerah dataran rendah yang sebagian besar merupakan daerah perladangan dan hutan sekunder muda. Sehingga jika dilihat dari tipe kawasannya, keragaman jenis satwa pada kawasan itu tergolong rendah.

Menurut ia lagi, sampai saat ini wilayah sangat rawan terjadi kebakaran adalah areal peladangan, dengan dua tipe kawasan yakni bawas dan tembawang. Jika dilihat dari keragaman dan kelimpahan satwa, dampak kebakaran hutan pada areal tipe bawas dapat dikatakan sangat kecil.

Namun untuk areal peladangan yang sudah membentuk tembawang, biasanya pada areal ini sudah cukup lama ditingggalkan dalam periode peladangan dan satwa yang ada di areal itu lebih bervariasi.

Jika kebakaran hutan terjadi para areal konsesi perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI), dampaknya bagi satwa, sangat tergantung dari tipe hutan yang dicadangkan itu. Apabila kawasan itu merupakan hamparan lahan kritis, maka dampak terhadap hidupan satwa tidak jauh berbeda dengan kebakaran yang terjadi pada areal peladangan.

Akan tetapi, menurut ia lagi, dewasa ini sebagian besar kawasan yang dikonsesikan untuk perkebunan dan HTI adalah kawasan hutan bekas penebangan sampai dengan kawasan hutan primer. "Sehingga jelaslah, pembersihan lahan dengan sistem pembakaran akan menimbulkan dampak sangat besar bagi satwa yang hidup di kawasan itu," tandasnya.

Sementara untuk kebakaran hutan di areal hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan lindung, sampai saat ini belum menunjukkan intensitad yang tinggi. Meski diakui, hampir setiap tahun selalu terjadi kebakaran hutan di kawasan lindung atau konservasi yang memiliki tipe kawasan gambut.

Namun begitu, ia menyatakan belum ada catatan pasti mengenai dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap satwa di Kalbar.

Menurut Koordinator Divisi Investigasi Yayasan Titian-Pontianak -- bergerak di isu lingkungan -- itu, permasalahan yang mengemuka saat ini yang terkait dengan penyusutan populasi satwa, baru teridentifikasi sebagai akibat aktifitas penebangan dan perburuan untuk tujuan konsumsi dan perdagangan, dalam keadaan hidup sebagai satwa peliharaan, bahan obat-obatan, souvenir, dll.

Perbuatan manusia

Di lain hal, pembicara dari Untan, Effendi Manullang menambahkan, penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kalbar umumnya akibat perbuatan manusia, karena aktifitas membakar lahan yang dipandang sebagai cara paling murah, mudah dan cepat.

Ia menambahkan, pengembangan alternatif lain untuk pembukaan lahan tanpa bakar yang dapat diaplikasikan masyarakat belum dapat dikembangkan.

"Karena pembakaran hutan dan lahan dilakukan masyarakat yang masih menggantungkan hidup pada sistem pertanian perladangan berpindah yang sulit ditinggalkan karena merupakan tradisi," katanya.

Pembakaran hutan dan lahan, menurut ia juga dilakukan elah perusahaan, baik perusahaan hutan tanaman, perkebunan, dan lainnya yang masih melaksanakan sistem tebas dan bakar dalam pembersihan lahan, jelasnya.

Sedangkan Bambang Prihanung, dari Dinas Kehutanan Kalbar, mengatakan kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerusakan pada tegakan hutan, lantai hutan, iklim mikro hutan dan lahan yang secara holistik membentuk ekosistem bagi kehidupan satwa baik yang dilindungi maupun tidak.

Panas api kebakaran hutan membunuh serangga dan tumbuhan yang hidup di lantai maupun di lapisan solum tanah hutan. Serangga itu merupakan makanan bagi jenis satwa yang lebih tinggi tingkatannya. "Sehingga kebakatan hutan dan lahan akan memotong siklus kehidupan satwan baik jenis aves, reptil maupun mamalia," katanya.

Rusaknya hutan sebagai akibat kebakaran juga menimbulkan terjadinya pengurangan wilayah jelajah satwa, dan memotong jalur migrasi satwa.

Data Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Japan International Cooperation Agency (JICA) menyebutkan, pada tahun 1997 terjadi bencana nasional kebakaran hutan di 25 provinsi dengan luas hutan yang terbakar mencapai 263.992,00 hektare.

kebakaran hutan di pontianak

Pontianak-Kebakaran hutan dan lahan gambut di sekitar Bandara Supadio dan seputar Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) semakin sulit dilakukan, karena lokasi kebakaran lebih dari satu kilometer dari jalan raya.
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Bandara Supadio, Girwanto, kepada SH, Sabtu (12/8) pagi, menjelaskan tekanan udara pada posisi 10–30 Lintang Utara, yang sebelumnya menguat, sekarang cenderung melemah. Jadi, peluang hujan lokal di Kalbar masih ada.
Angin berembus sangat perlahan dari selatan ke tenggara berkecepatan 8–10 knot per jam, membuat kepulan asap tebal dan pekat menjadi sangat sulit hilang dalam waktu yang cepat. “Pendaratan pesawat penumpang di Bandara Supadio dari Jakarta tetap lancar, karena setelah pukul 08.00 WIB jarak pandang sudah di atas 800 meter,” ujar Girwanto.
Pemantauan SH sejak Jumat (11/8), selang air mesin pemadam kebakaran Manggala Agni sudah tidak dapat menjangkau lokasi kebakaran di sepanjang jalan raya dari Bandara Supadio menuju Kecamatan Rasau Jaya.
Upaya pemadaman ini didukung personel Brigade Bekantan Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) Departemen Kehutanan dan Sekretariat Pemerintah Provinsi Kalbar, Kodim 1207/Pontianak, Poltabes Kota Pontianak, dan Yayasan Bhakti Suci,
Pemadaman tidak bisa dilakukan secara konvensional dengan hanya memukul berkali-kali sumber asap dengan pentungan kayu, lantaran bara api berada di balik dasar gambut. Petugas harus bersusah payah menyiram sumber kepulan asap hingga permukaan tergenang, supaya air mampu merembes sumber bara api di kedalaman lebih dari tiga meter.
Seorang petugas SPORC tampak jengkel, menginjak berkali-kali sumber kepulan asap. Rasa jengkel terjadi, karena api yang seharusnya padam total usai disemprot air, ternyata tidak lebih dari 30 menit kemudian kepulan asap muncul lagi di tempat yang sama. Itu terjadi lantaran kuantitas semburan air branwir tidak tuntas hingga ke sumber bara api.
Selain di Kecamatan Rasau Jaya, kebakaran lahan gambut terjadi di sekitar Kecamatan Sungai Raya, Kampus Universitas Tanjungpura, Jalan Sungai Raya Dalam, Jalan Purnama, Kuala Ambawang, dan Desa Mega Timur, Kecamatan Pontianak Utara. Kebakaran di Desa Mega Timur terjadi di lokasi bekas industri sawmill, sehingga api dengan bebas melahap bekas serbuk gergajian.
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Kalbar Tri Budiarto, menjelaskan lahan gambut yang terbakar di sekitar Bandara Supadio dan sekitarnya sebagian besar memang bukan milik masyarakat lokal, melainkan milik para petani berdasi yang tinggal di kota lain.
Ia juga menjelaskan, kepulan asap akibat kebakaran lahan gambut jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan kebakaran yang disertai nyala api membesar. Berbahaya, karena asap tebal membuat jarak pandang terus pendek, masyarakat menghirup udara kotor, dan pada takaran tertentu sangat mengganggu jadwal penerbangan pesawat udara.
Dalam satu pekan terakhir, menurut Tri Budiarto, kualitas udara di Pontianak dan sekitarnya menjadi berbahaya pada pukul 24.00-01.00. Pada pukul 01.00-04.00 kualitas udara sangat tidak sehat, pukul 04.00–05.00 tidak sehat, dan pada pukul 16.00–18.00 kualitas udara kembali menjadi tidak sehat.

Meningkat di Sumsel
Total jumlah titik api (hot spot) di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang terpantau satelit Tera Modis Web Fire Mapper University of Malaryland, Amerika Serikat sampai 10 Agustus 2006 yang dihimpun South Sumatra Fire Forest Management Project (SSFFMP) di Palembang, mencapai 698 titik api.
Menurut Solihin, staf GIS atau Remote Sensing pada SSFFMP, Jumat (11/8), jumlah titik api di Sumsel sampai 10 Agustus 2006 meningkat signifikan. Pada Rabu (9/8) yang terpantau 19 titik api dan Kamis (10/8) menjadi 223 titik api.
Ketua Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nurkholis mengingatkan pemerintah perlu memantau perusahaan perkebunan besar yang sering membakar belukar guna memperluas lahan n