Pontianak-Kebakaran hutan dan lahan gambut di sekitar Bandara Supadio dan seputar Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) semakin sulit dilakukan, karena lokasi kebakaran lebih dari satu kilometer dari jalan raya.
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Bandara Supadio, Girwanto, kepada SH, Sabtu (12/8) pagi, menjelaskan tekanan udara pada posisi 10–30 Lintang Utara, yang sebelumnya menguat, sekarang cenderung melemah. Jadi, peluang hujan lokal di Kalbar masih ada.Angin berembus sangat perlahan dari selatan ke tenggara berkecepatan 8–10 knot per jam, membuat kepulan asap tebal dan pekat menjadi sangat sulit hilang dalam waktu yang cepat. “Pendaratan pesawat penumpang di Bandara Supadio dari Jakarta tetap lancar, karena setelah pukul 08.00 WIB jarak pandang sudah di atas 800 meter,” ujar Girwanto.
Pemantauan SH sejak Jumat (11/8), selang air mesin pemadam kebakaran Manggala Agni sudah tidak dapat menjangkau lokasi kebakaran di sepanjang jalan raya dari Bandara Supadio menuju Kecamatan Rasau Jaya.
Upaya pemadaman ini didukung personel Brigade Bekantan Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC) Departemen Kehutanan dan Sekretariat Pemerintah Provinsi Kalbar, Kodim 1207/Pontianak, Poltabes Kota Pontianak, dan Yayasan Bhakti Suci,
Pemadaman tidak bisa dilakukan secara konvensional dengan hanya memukul berkali-kali sumber asap dengan pentungan kayu, lantaran bara api berada di balik dasar gambut. Petugas harus bersusah payah menyiram sumber kepulan asap hingga permukaan tergenang, supaya air mampu merembes sumber bara api di kedalaman lebih dari tiga meter.
Seorang petugas SPORC tampak jengkel, menginjak berkali-kali sumber kepulan asap. Rasa jengkel terjadi, karena api yang seharusnya padam total usai disemprot air, ternyata tidak lebih dari 30 menit kemudian kepulan asap muncul lagi di tempat yang sama. Itu terjadi lantaran kuantitas semburan air branwir tidak tuntas hingga ke sumber bara api.
Selain di Kecamatan Rasau Jaya, kebakaran lahan gambut terjadi di sekitar Kecamatan Sungai Raya, Kampus Universitas Tanjungpura, Jalan Sungai Raya Dalam, Jalan Purnama, Kuala Ambawang, dan Desa Mega Timur, Kecamatan Pontianak Utara. Kebakaran di Desa Mega Timur terjadi di lokasi bekas industri sawmill, sehingga api dengan bebas melahap bekas serbuk gergajian.
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Kalbar Tri Budiarto, menjelaskan lahan gambut yang terbakar di sekitar Bandara Supadio dan sekitarnya sebagian besar memang bukan milik masyarakat lokal, melainkan milik para petani berdasi yang tinggal di kota lain.
Ia juga menjelaskan, kepulan asap akibat kebakaran lahan gambut jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan kebakaran yang disertai nyala api membesar. Berbahaya, karena asap tebal membuat jarak pandang terus pendek, masyarakat menghirup udara kotor, dan pada takaran tertentu sangat mengganggu jadwal penerbangan pesawat udara.
Dalam satu pekan terakhir, menurut Tri Budiarto, kualitas udara di Pontianak dan sekitarnya menjadi berbahaya pada pukul 24.00-01.00. Pada pukul 01.00-04.00 kualitas udara sangat tidak sehat, pukul 04.00–05.00 tidak sehat, dan pada pukul 16.00–18.00 kualitas udara kembali menjadi tidak sehat.
Meningkat di Sumsel
Total jumlah titik api (hot spot) di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang terpantau satelit Tera Modis Web Fire Mapper University of Malaryland, Amerika Serikat sampai 10 Agustus 2006 yang dihimpun South Sumatra Fire Forest Management Project (SSFFMP) di Palembang, mencapai 698 titik api.
Menurut Solihin, staf GIS atau Remote Sensing pada SSFFMP, Jumat (11/8), jumlah titik api di Sumsel sampai 10 Agustus 2006 meningkat signifikan. Pada Rabu (9/8) yang terpantau 19 titik api dan Kamis (10/8) menjadi 223 titik api.
Ketua Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nurkholis mengingatkan pemerintah perlu memantau perusahaan perkebunan besar yang sering membakar belukar guna memperluas lahan n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar